Presidential threshold atau ambang batas presiden merupakan ketentuan yang mengatur jumlah dukungan minimal yang harus diperoleh oleh seorang calon presiden untuk dapat ikut serta dalam pemilihan presiden di Indonesia. Dalam UU Pemilu, terdapat aturan bahwa seorang calon presiden harus mendapatkan dukungan minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilihan legislatif sebelumnya.
Namun, pada 24 Juni 2021, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk mencabut presidential threshold tersebut. Keputusan tersebut diambil setelah adanya gugatan yang diajukan oleh sejumlah pihak yang menilai bahwa presidential threshold tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang sehat dan merugikan hak politik masyarakat.
Alasan utama MK mencabut presidential threshold adalah untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat dan memperluas ruang demokrasi. Dengan mencabut ketentuan tersebut, diharapkan akan memberikan kesempatan yang lebih adil bagi calon presiden dari berbagai latar belakang dan partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan presiden. Selain itu, pencabutan presidential threshold juga dianggap dapat mendorong terciptanya kompetisi politik yang lebih sehat dan berimbang.
Meskipun demikian, ada juga yang mempertanyakan keputusan MK tersebut. Mereka khawatir bahwa tanpa adanya presidential threshold, akan muncul banyak calon presiden yang tidak memiliki dukungan yang cukup untuk dapat memimpin negara dengan efektif. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa pencabutan presidential threshold dapat memicu polarisasi politik yang lebih tinggi dan mempersulit proses pemilihan presiden.
Dengan pencabutan presidential threshold, diharapkan bahwa proses pemilihan presiden di Indonesia dapat menjadi lebih inklusif dan demokratis. Namun, tetap diperlukan upaya untuk memastikan bahwa calon presiden yang ikut serta dalam pemilihan memiliki kualitas dan kapasitas yang memadai untuk memimpin negara dengan baik.